PERPPU Cipta Kerja, Bentuk Nyata Diskresi Presiden

“Dari catatan saya, seluruh narasumber yang diundang sepakat dan saling melengkapi hasil studi serta kajian satu sama lainnya di mana terdapat urgensi pengesahan Perppu Cipta Kerja, bagi kepentingan ekonomi negara.

Yakni, menghindari dan memitigasi krisis akibat gejolak ekonomi global. Pengesahan undang-undang ini selanjutnya perlu diikuti dengan kelengkapan regulasi pendukung berupa PP atau Perpres agar implementasi undnag-undang cipta kerja dapat berjalan dengan efektif,” ujar senior ekonom ini.

Bacaan Lainnya

Sementara Dzulfian Syafrian (peneliti ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance) menceritakan hal-hal yang disampaikannya saat menghadiri RDPU Badan Legislasi DPR RI dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang Cipta Kerja.

Pada rapat tersebut, Ia menyampaikan pemikiran terkait kluster UMKM yang termuat dalam RUU tersebut. Menurut Dzulfian, kluster pembahasan yang disampaikannya ini menjadi salah satu terobosan hukum penting dan jenius yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja dalam menjawab permasalahan struktural UMKM yaitu tantangan formalitas usaha.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut,  Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses.

Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.

Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan.

Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945.

Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut. (Mkri.id)

Pos terkait